Biografi B.J. Habibie, Perjuangan dan Cita-Citanya untuk Indonesia

Tiap-tiap yang bernyawa pasti akan merasakan mati. Begitulah bunyi dari salah satu ayat Al-Qur’an, kitab suci umat Islam. Sebagaimana makna dari ayat tersebut, Prof. Dr. Ing. Bacharuddin Jusuf Habibie (B.J. Habibie) juga tidak lepas dari aturan yang ditetapkan oleh Tuhan dari agama yang ia anut. Sosok yang dikenal sebagai bapak demokrasi Indonesia ini akhirnya meninggal dunia pada hari Rabu, 11 September 2019 pukul 18.05 WIB, setelah mendapatkan perawatan insentif di RSPAD Gatot Soebroto, Jakarta.

Sebagai sebuah bangsa, tentunya seluruh masyarakat Indonesia merasa sangat kehilangan atas kepergian eyang Habibie. Akan tetapi, sebagai generasi penerusnya, kita tidak boleh lama bersedih. Sebaliknya, kita harus bisa meneruskan perjuangan dan cita-cita eyang, serta meneladani nilai-nilai yang ia ajarkan kepada kita semua. Untuk itu, mari sama-sama kita mengenal sosok habibie melalui biografi singkatnya di bawah ini, yang telah Shopback rangkum dari berbagai sumber.

Riwayat Keluarga dan Masa Kecil Habibie

Bacharuddin Jusuf Habibie lahir pada 25 Juni 1936 dari pasangan Alwi Abdul Jalil Habibie dan Raden Ayu Tuti Marini Puspowardojo. Ayahnya berasal dari etnis Gorontalo dan berprofesi sebagai seorang ahli pertanian di wilayah Indonesia Timur, sementara ibunya berasal dari etnis Jawa yang merupakan anak dari seorang dokter spesialis mata di Jogjakarta.

Sejak kecil, Habibie dikenal sebagai sosok anak yang cerdas. Di usianya yang masih 3 tahun, Habibie sudah fasih membaca Al-Qur’an berkat didikan ayahnya yang selalu membacakan ayat suci Al-Qur’an kepadanya. Selain itu, Habibie juga dikenal sebagai anak yang cerewet dan selalu penasaran dengan segala sesuatu.

Dalam buku “Rudy: Kisah Masa Muda Sang Visioner” yang ditulis oleh Gina S Noer dan diterbitkan pada tahun 2015, Habibie digambarkan sebagai seorang anak yang banyak bicara dan ingin tahu segala sesuatu.

Bahkan suatu waktu, ketika Rudy (nama kecil B.J. Habibie) berusia 3 tahun, ia sempat bertanya kepada ayahnya, tentang apa tujuan ayahnya menggabungkan kedua pohon yang berbeda atau berlainan jenis.

Mendengar pertanyaan tersebut, ayahnya lantas menjawab dengan jawaban yang sangat serius namun mudah dipahami, bahkan oleh anak kecil sekalipun.

“Papi sedang melakukan eksperimen, jadi kita bisa menemukan jawaban dari percobaan. Nah, ini namanya setek. Batang yang di bawah itu adalah mangga yang ada di tanah kita, tapi rasanya tidak seenak mangga dari Jawa. Jadi, batang Mangga dari jawa, Papi gabungkan dengan batang yang di bawah ini”,

Rudy lalu bertanya kembali: “Mengapa papi gabungkan?”

“Agar kamu dan teman-teman bisa makan mangga yang enak”, jawab ayahnya

Kemudian Rudy bertanya lagi: “Kalau gagal bagaimana?”

“Kita cari cara lain dan pohon Mangga lain agar bisa tumbuh di sini”, jawab Alwi yang akhirnya sukses memuaskan rasa penasaran Habibie kecil.

Nah, karena rasa keingintahuannya yang tinggi, Habibie diketahui sudah bisa membaca dengan lancar di usianya yang masih 4 tahun. Alhasil, ia pun menjadi sangat gemar membaca dan melahap buku-buku yang disediakan ayahnya. Mulai dari ensiklopedia, buku-buku cerita, hingga berbagai buku tentang kumpulan karya Leonardo Da Vinci dan cerita fiksi ilmiah karya Jules Verne.

Pendidikan dan Kisah Cinta B.J. Habibie

Habibie menempuh pendidikan TK dan SD-nya di Pare-Pare, Sulawesi Selatan. Namun, setelah kematian ayahnya pada tahun 1950, keluarga Habibie akhirnya memutuskan untuk pindah ke Bandung. Habibie kemudian melanjutkan pendidikannya di SMP Negeri 5 Bandung, SMA Kristen Dago Bandung, Institut Teknologi Bandung, hingga ke RWTH, Aachen, dengan dibiayai oleh ibunya sendiri.

Walau menempuh pendidikan tinggi di Jerman, Habibie sempat pulang ke Indonesia untuk mengunjungi keluarga dan berziarah ke makam ayahnya. Namun, tak disangka, takdir justru mempertemukan Habibie kembali bersama dengan salah satu teman perempuannya ketika SMA dulu, Hasri Ainun Besari.

Tak membutuhkan waktu yang lama, hubungan yang terjalin antara Habibie dan Ainun pun berubah menjadi sebuah hubungan cinta dan kasih, yang berujung pada pernikahan resmi pada tanggal 12 Mei 1962.

Setelah menikah, Habibie pun memboyong Ainun ke Jerman untuk menyelesaikan pendidikannya. Setelah 10 tahun menempuh pendidikan di Jerman, Habibie sukses meraih dua gelar (diploma dan doktor) dari Universitas Teknologi Rhein Westfalen Aachen atau yang lebih dikenal dengan RWTH. Gelar diplom ingenieur diraih Habibie pada tahun 1960, sedangkan gelar doktor ingenieur ia peroleh pada tahun 1965 dengan predikat summa cum laude.

Adapun kisah perjuangan Habibie semasa kuliah di Jerman beserta kisah cintanya bersama dengan ibu Ainun, saat ini bisa kita tonton pada film Habibie & Ainun, Rudy Habibie (Habibie Ainun 2), dan Habibie & Ainun 3 (rencananya akan tayang di Bioskop 19 Desember 2019). Selaini itu, kita juga bisa membaca kisahnya lewat buku “Habibie & Ainun” yang ditulis sendiri oleh B. J. Habibie.

Karir, Prestasi, dan Penghargaan B.J. Habibie

Usai meraih gelar doctor ingenieur pada tahun 1965, Habibie langsung mendapatkan pekerjaan di Perusahaan Penerbangan MBB atau Messerchmitt-Bolkow-Blohm. Ia memulai karir sebagai kepala penelitian dan pengembangan pada analisis struktur pesawat terbang.

Empat tahun kemudian, Habibie dipromosikan menjadi Kepala Divisi Metode dan Teknologi dalam industri pesawat militer dan komersial. Setelah itu, dalam rentang waktu yang sama, ia dipromosikan menjadi Direktur Teknologi perusahaan penerbangan MBB yang sekaligus merangkap sebagai Vice President selama 5 tahun. Bahkan, pada tahun 1978, Habibie juga dipercaya untuk menduduki posisi Penasihat Senior bidang teknologi Perusahan MBB.

Selain memiliki karir yang cemerlang di perusahaan penerbangan kelas dunia, Habibie juga dikenal sebagai Mr. Crack. Julukan ini didapatkan ketika ia berhasil menemukan bagaimana cara menghitung keretakan (crack propagation on random) pada pesawat bahkan sampai ke skala atom. Dengan demikian, penemuan tersebut otomatis membuat standar keamanan pesawat di seluruh dunia meningkat.

Atas semua perjuangan, kerja keras, ketekunan, dan jasanya di ranah penerbangan dunia, Habibie pun sukses mencatatkan namanya sebagai ilmuwan kelas dunia yang disegani, khususnya di dunia aviasi. Ia bahkan seringkali mendapatkan penghargaan dan gelar kehormatan dari berbagai institusi maupun negara. Misalnya, penghargaan Edward Warner Award dan Award von Karman yang hampir setara dengan hadiah Nobel, penghargaan Das Grosse Verdientkreuz dari pemerintah Jerman, hingga julukan Bapak Teknologi dari seluruh masyarakat Indonesia.

Jasa Habibie Membangun Indonesia

Cerita tentang kecerdasan dan prestasi B. J. Habibie di negeri orang rupanya juga sampai ke telinga Soeharto, Presiden RI ke-2. Tanpa pikir panjang, Soeharto meminta Ibnu Sutowo, salah satu orang kepercayaannya pada saat itu, untuk mengajak B. J. Habibie pulang kembali ke Indonesia. Harapannya, supaya Habibie dapat membantu Pemerintah Indonesia dalam mengembangkan dunia industri di tanah air, khususnya industri penerbangan.

Setelah memperoleh informasi tentang ajakan Presiden dari Ibnu Sutowo, Habibie pun memutuskan untuk kembali ke Indonesia dan meninggalkan karir cemerlangnya di Jerman pada tahun 1973. Walaupun pada saat itu, Habibie masih harus bolak-balik Indonesia-Jerman mengingat tanggung jawabnya sebagai Vice President di MBB belum selesai.

Nanti pada tahun 1978, yakni usai Habibie menyelesaikan masa kontrak kerjanya di MBB, Habibie akhirnya bisa benar-benar kembali ke tanah air, dan mengabdi untuk Indonesia.

Di Indonesia, Habibie beberapa kali diberi kepercayaan menjabat posisi penting di Pemerintahan, diantaranya seperti menduduki posisi-posisi strategis di berbagai perusahaan BUMN, menjabat sebagai Menteri Negara Riset dan Teknologi selama 20 tahun, menjadi Wakil Presiden RI, hingga pada puncaknya menjadi Presiden RI ke-3.

Selama berkarir di Indonesia, Habibie sukses meraih banyak penghargaan, prestasi, dan membuat terobosan, khususnya di ranah industri penerbangan dan dunia politik di Indonesia.

Pada industri penerbangan RI, Habibie sukses menciptakan pesawat karya anak bangsa pertama di Indonesia yang diberi nama N-250 Gatotkoco. Pesawat buatan PT. IPTN (sekarang PT Dirgantara Indonesia) ini berhasil diterbangkan tanpa mengalami dutch roll (oleng berlebihan) dan merupakan satu-satunya pesawat terbang turboprop di dunia yang menerapkan teknologi fly by wire.

Sedangkan di bidang politik, Habibie dikenal sebagai Presiden RI pertama yang memulai era demokrasi di Indonesia. Hal ini dibuktikan lewat berbagai peraturan maupun kebijakan demokratis yang ia keluarkan semasa ia memerintah, antara lain:

Memberi kebebasan kepada seluruh rakyat Indonesia untuk menyalurkan pendapat ataupun aspirasinya.
Membebaskan tahanan politik (tapol) dan narapidana politik (napol) yang sebelumnya dijatuhi hukuman tak adil di era Soeharto
Mencabut larangan berdirinya serikat-serikat buruh independen
Membentuk tiga undang-undang yang demokratis yaitu :
UU No. 2 tahun 1999 tentang Partai Politik
UU No. 3 tahun 1999 tentang Pemilu
UU No. 4 tahun 1999 tentang Susunan Kedudukan DPR/MPR
Dan masih banyak lagi…
Atas karya dan jasanya dalam industri penerbangan dan politik Indonesia, Habibie semasa hidupnya dikenal sebagai Bapak Teknologi dan Bapak Demokrasi Indonesia.

Selamat jalan eyang. Walau ragamu tak lagi bersama kami, namun karyamu akan selalu hidup, bermanfaat, dan dikenang oleh seluruh masyarakat dunia, khususnya Indonesia.